
Istilah nyumbang bagi sebagian besar orang jawa mungkin tidak asing lagi, terutama yang masih njawani ( memegang teguh adat istiadat jawa ). Di daerah lain istilah nyumbang juga sering disebut njagong. Agar tidak terjadi salah pengertian perlu adanya pembatasan pengertian dari nyumbang. Pengertian nyumbang dalam makalah ini adalah sebuah rangkaian perilaku masyarakat jawa yang memberikan sumbangan dalam bentuk barang kebutuhan sehari-hari atau uang, pada saat tetangga, saudara, atau orang yang dikenalnya dengan baik mengadakan hajatan pernikahan, sunatan, atau peringatan hari kelahiran/kematian.
Fenomena nyumbang dalam masyarakat jawa tidak bisa terlepas dari akar kebudayaan mereka. Akar kebudayaan masyarakat jawa cenderung bersifat guyub (Kolektivistik) dan jauh sifat-sifat urip dewe ( individual ). Hal tersebut terlihat dari berbagai adat kebudayaan yang menjunjung kebersamaan seperti, gugur gunung, sambatan, gotong royong, njagong dll.
Pada zaman dahulu sampai dengan era 80’an sumbangan masih wajar bila berbentuk barang kebutuhan sehari-hari seperti beras, telur, ketela, dll. Bahkan hingga saaat ini disebagian daerah pelosok pedesaan, sumbangan dalam bentuk kebutuhan sehari-hari masih umum dijumpai pada saat hajatan berlangsung. Salah satu daerah tersebut adalah Desa Ngijo di daerah Boyolali, Jawa Tengah. Namun seiring kemajuan zaman sumbangan yang tadinya berbentuk barang kebutuhan sehari-hari menjadi beralih menjadi sumbangan yang berbentuk uang. Peralihan tersebut terutama terjadi di wilayah perkotaan yang identik dengan urban area.
Peralihan bentuk sumbangan dari barang ke uang ternyata tidak sesederhana yang kita kira. Peralihan tersebut ternyata juga membawa perubahan terhadap nilai nyumbang itu sendiri. Pada zaman dahulu orang nyumbang dengan ihklas tanpa mengharapkan balasan apapun, hanya semata-mata karena merasa punya tanggung jawab sosial terhadap sesama untuk saling membantu. Saat ini orang yang merasa telah nyumbang tetangga bahkan kerabat sendiripun mengaharapkan balasan yang setimpal, bahkan lebih banyak. Begitu juga pihak yang punya hajat, mereka mengharapkan memperoleh “keuntungan” dari hajatan yang ia selenggarakan.
Berbagai peralihan ini membuat fenomena nyumbang yang ada kini seolah tersudutkan dengan berbagi streotipe negatif yang melekat padanya. Keharusan untuk nyumbang dengan nominal uang tertentu karena gengsi, apalagi sudah diberi undangan dan tonjokan / ater-ater (si empunya yang punya hajat mengirim sejumlah makanan terlebih dahulu) membuat fenomena nyumbang disebut-sebut sebagai fenomena yang membawa kesengsaraan saja, merugikan, dll. Lebih parah lagi, fenomena nyumbang disebut sebagai biang dari suap yang kini merajalela. Semuanya seolah sangat jauh berbeda jika dibandingkan nilai-nilai nyumbang yang pada awalnya coba ditanamkan oleh para pendahulu kita. Maka dari itulah fenomena nyumbang ini akan sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut, terutama pada nilai-nilai yang coba ditanamkan pada fenomena ini oleh para pendahulu kita. jikalau berminat silakan donlod artikel lengkapnya disini dalam format Pdf.
0 comments:
Post a Comment